Peristiwa penangkapan Schapelle Leigh
Corby terpidana asal Australia 8 tahun silam, kembali menarik perhatian publik.
Pasalnya terpidana 20 tahun penjara dalam kasus penyelundupan ganja sebanyak
4,2 kilogram yang tertangkap di Bali pada 8 Oktober 2004 lalu, telah resmi
mendapat grasi hukuman lima tahun penjara dari kepala negara Indonesia, sejak
15 Mei 2012. Namun keputusan presiden SBY tersebut menuai banyak kontroversi.
Salah satu pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra pun ikut angkat
bicara. Yuzril menilai keputusan presiden dalam pemberian grasi tersebut telah
melanggar hukum. Karena bertentangan dengan kebijakan pengetatan atau
moratorium pemberian remisi kepada napi korupsi, narkotika, terorisme dan kejahatan
internasional sebagaimana diatur dalam PP No. 28/2006.
Langkah
presiden SBY terhadap grasi terpidana asal Australia ini, dirasa kurang efektif.
Karena hal tersebut dapat merugikan Indonesia, apabila pihak Australia tidak
melakukan hal yang sama terhadap terpidana asal Indonesia yang berada di
Australia. Seharusnya sebelum presiden mengambil langkah tersebut, Indonesia-Australia
mengadakan kesepakatan dalam pemberian grasi yang sama terhadap kedua belah
pihak.
Memang
tujuan presiden dalam pemberian grasi hukuman corby tersebut baik, yaitu dengan
harapan agar presiden Australia juga bisa melakukan tindakan yang sama terhadap
para terpidana dari Indonesia yang berada di Australia. Kendati demikian,
presiden SBY seharusnya lebih selektif
dalam mengambil keputusan. Apabila memang telah ada transparansi keputusan dari
pihak Australia yang juga akan memberikan grasi hukuman terhadap terpidana dari
Indonesia, barulah presiden mengambil keputusan tersebut. Dan seandainya apabila
setelah Indonesia memberikan grasi hukuman terhadap Corby namun pihak Australia
mengabaikannya, maka hal tersebut malah akan merugikan Indonesia serta dapat berimplikasi buruk terhadap harkat dan
martabat bangsa Indonesia sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar